Ia terbangun diantara rerumputan, berdiri tegak. Sejauh
mata memandang yang ia lihat hanya
padang rumput yang sangat luas dengan cahaya yang sangat terang. Ia tak tahu
dimana ia berada. Diantara rerumputan dan di bawah birunya langit. Ia berjalan
linglung tanpa arah. Berusaha mencari
sosok-sosok orang yang ia kenal. Ia berlari dan terus berlari.
Seketika itu ia dikagetkan oleh sesosok laki-laki yang
muncul dari balik rumput. yang menyentuh pundaknya. Dan ia pun berbalik
melihatnya. Ia sangat terang karena cahaya matahari terpantul dari wajahnya.
Semakin lama wajahya semakin jelas. Dan ia pun memeluknya sembari meneriakkan
namanya,
“Vitooo...Are you oke bro? We miss you so much. Pulang
yuk, ibu uda nungguin kita di rumah.”
Ia berbicara panjang lebar, namun sosok Vito hanya menatapnya diam
Namun seketika itu Vito berjalan menjauh, menjauh dari
pandangannya. Ia ingin berlari mengejarnya. Tapi suara ibu memanggil. Ia
melepaskan tangannya dan menatap ke belakang, tapi ia belum melihat mereka.
Lalu ia kembali menatap Vito di depan, tapi ia sudah menghilang tanpa ia tahu
kemana perginya. Ia pun kembali terjatuh di tempat itu.
Saat ia membuka mata, ia bertanya pada dirinya, dimana ia?
Bukankah ia di padang rumput. Kenapa ia disini. Alat apa yang menyelubungi dirinya saat ini. Ia melihat Bunda tertidur di sebelah. Ia ingin berteriak memanggil
namanya, tapi tak ada satu kata pun yang bisa terucap. Mata terbuka tapi ia tak mampu berkata.
Tubuhnya dipenuhi dengan seperangkat alat yang entah apa ini namanya, bahkan
berbicara pun ia tak sanggup. Ia hanya meneteskan air mata. Tangannya berusaha
bergerak meraih tangan bunda. Perlahan-lahan hingga akhirnya ia bisa meraih
tangan beliau. Hingga beliau membuka matanya. Beliau menatap dengan air mata bahagia. Ia hanya mendengar beliau
memanggil para dokter. Hingga akhirnya ia menatap kepergian bunda dan melihat
para dokter berbaju putih mengelilingi dirinya yang terbaring lemah.
Mereka menatap, mencoba mengajaknya berbicara, ia pun
berusaha berkata dengan pelan. Lalu mereka mulai melepas satu persatu alat yang
menempel di tubuhnya, hingga akhirnya ia bisa sedikit bergerak bebas.Ia tak
terlalu mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Ia hanya ingat terakhir kali ia
masih berada di atas gunung. Bersama perihnya luka dan dengannya.
“Bunda...”katanya terbata-bata..
“iya Vino..syukurlah kau sudah sadar. Apa kau mau
sesuatu?”
“Apa ada yang ingin Bunda tanyakan? Maafkan Vino Bun.
Vino nggak pernah dengerin kata Bunda”
“Sudahlah, jangan banyak bicara dulu. Kondisimu belum
pulih. Istirahatlah.” Kata beliau dengan senyum merekah di pipinya.
Ia hanya berfikir kali ini mungkin Bunda tersakiti lagi
karena ia, berulangkali ia mencoba tidak membuatnya khawatir tapi yang terjadi
180 derajat berbeda. Ia hanya membuatnya menangis dan tidak tidur hanya untuk
menemaniku yang terbaring. Saat ini tak ada kata yang bisa ia ucapkan, Vino mencoba
untuk memejamkan mata sejenak.Ia masih sadar, hanya mata saja yang
terpejamkan. Bayangan di gunung kembali menghantuinya. Rasanya menyesakkan dada.
No comments:
Post a Comment